Renungan Mingguan Pesta Keluarga Kudus

KOMSOS.PURBOWARDAYAN –KELUARGA KUDUS DI DALAM TANTANGAN ZAMAN

Pengantar: Tantangan Menjadi Keluarga Kudus
Bapak Ibu, para saudara-saudari terkasih, ada dua pergulatan yang selalu muncul setiap kali kita merayakan pesta Keluarga Kudus, karena dengan demikian, kita akan melihat cerminan itu di dalam keluarga kita masing-masing.

Pergulatan yang pertama adalah: keluarga yang seperti apa yang disebut kudus dan mampukah kita menjadi keluarga yang kudus? Secara sederhana, tapi juga tidak sederhana dalam perwujudannya, keluarga yang kudus adalah keluarga yang di sana ada kehadiran Tuhan. Ya, persis seperti Keluarga Kudus Nazareth, yang Tuhan menjadi alasan mereka bersatu dan berjuang. Sama, keluarga kita disebut kudus, karena Tuhan hadir di tengah keluarga kita. Ketidakhadiran Tuhan dalam keluarga membuat kekosongan, dan kekosongan itu sering akan segera diisi dengan materialisme, keserakahan, kejahatan, ketidaksetiaan dan perkara-perkara lain yang tidak membawa damai sejahtera.

Lalu, yang berkaitan dengan itu, apakah keluarga kita menjadi kudus? Ya sekali lagi, tergantung yang hadir di tengah keluarga kita itu Tuhan atau kekosongan hidup? Seperti orang yang membuat resolusi di awal tahun baru, niat atau impian menjadi kudus itu jarang terpikirkan. Banyak orang yang memikirkan dalam keluarga adalah keluarga bahagia, keluarga yang sukses, keluarga yang kaya dan seterusnya. Namun, impian menjadi kudus itu jarang terpikirkan atau terencanakan. Namun, menjadi kudus itu mungkin terjadi, kalau sekali lagi, kalau keluarga kita itu menjadikan Tuhan sebagai pusat hidupnya. Bahkan, menjadi kudus adalah panggilan semua keluarga.

Pergulatan yang kedua adalah: apakah kalau keluarga sudah kudus itu lalu akan lepas dari permasalahan dan pergulatan hidup? Apakah akan segera dibebaskan dari bencana? Oh tentu tidak! Untuk hal ini, kita bisa belajar dan meneladan dari Keluarga Kudus Nazareth, karena semenjak Maria menerima kabar, hidup mereka dalam tanda kutip sepertinya tidak lepas dari yang namanya masalah dan pergulatan. Kunci Keluarga Kudus Nazareth berhadapan dengan masalah adalah kesetiaan pada kehendak Allah, ketaatan pada peraturan (meski Anak Allah, tetap taat seperti orang biasa), dan tidak banyak protes atau mengeluh dalam pergulatan tersebut.

Maka, dua pergulatan ini: usaha menjadi kudus dan lepas-tidaknya permasalahan dalam keluarga kita, saya kira menjadi tantangan utama dalam keluarga-keluarga kita.

Ulasan Injil dan Relevansi: Maria dan Yusuf, Pasutri yang Taat dan Simeon yang Penuh Sukacita
Bapak Ibu, para saudara-saudari terkasih, hari ini kita mendengarkan sabda Tuhan ketika Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Ada beberapa hal baik yang kita catat dari sabda Tuhan hari ini:

Pertama, di sana ada perjumpaan antara orang yang muda dan orang yang tua, dan Yesus adalah pusatnya. Perjumpaan keduanya adalah kesempatan untuk saling belajar, antara pengalaman dan pengetahuan yang kemudian saling melengkapi. Yang tua, belajar taat pada Maria yang taat hukum, sedangkan yang muda belajar menjadi bijak dan suci, karena persembahan di bait Allah. Kesempatan saling belajar membuat kita menjadi rendah hati.

Dalam keluarga kita juga sama, ada orang yang muda dan orang yang tua, dan kalau menjadikan Tuhan sebagai pusatnya, maka keluarga adalah kesempatan untuk saling belajar, saling mendengarkan dan saling memahami. Keluarga menjadi tidak kudus, kalau salah satu pihak merasa diri paling benar, paling baik, dan lalu tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Sekali lagi, saling belajar membuat kita menjadi rendah hati.

Hal kedua, adalah tentang pengorbanan burung merpati, yang menjadi perlambang korban untuk tebusan dosa manusia. Burung merpati yang dipersembahkan sebenarnya adalah ‘grade’ terkecil atau terbawah dari persembahan, namun itu semua tetap diberikan dengan ketulusan hati dari pihak Maria dan Yusuf. Persembahan yang kecil namun dengan ketulusan hati, adalah persembahan terbaik bagi Allah.

Dalam keluarga kita juga sama, memberikan yang terbaik bagi keluarga, atau bahkan berkurban banyak demi keluarga yang dicintai, ya karenaTuhan yang menjadi pusatnya. Apa yang bisa kita persembahkan? Banyak. Persembahan waktu di antara sekian banyak waktu yang kita punya, orang tua mempersembahkan tenaga, anak-anak mempersembahkan telinga untuk mendengarkan nasehat. Ya, persembahan tulus membawa kebaikan.

Hal ketiga, kita mau tidak mau memberi garis bawah untuk Simeon dan Hana, yang sampai di usianya, bertahan untuk bertemu dengan Mesias, Yesus Juruselamat. Mereka memikirkan cara terbaik untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Bahkan bisa dikatakan, usia hidup mereka dipakai hanya untuk menantikan saat-saat terindah bertemua Mesias. Dan setelah bertemu, mereka merasa bahwa hidup mereka sudah cukup.

Dalam keluarga kita, semangat yang diambil adalah bahwa keluarga menjadi tempat untuk melihat, mengenali dan melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan; tentu sesuai perannya masing-masing. Orang tua melaksanakan kehendak Allah lewat peran sebagai orang tua yang memberi teladan, anak-anak melaksanakan kehendak Allah lewat peran sebagai anak yang berbakti dan taat. Maka inilah, keluarga kudus, yang mencari kehendak Allah.

Maka, tiga hal inilah yang bisa kita renungkan bersama-sama dalam keluarga kita masing-masing perihal tentang menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan keluarga kudus.

Konklusi
Bapak Ibu, para saudara-saudari terkasih, mari kita mohon rahmat kepada Tuhan, supaya keluarga-keluarga kita menjadi perwujudan yang khas dan konkret dari keluarga kudus, yang senantiasa menjadikan kehendak Allah sebagai pusat kehidupan. Semoga dari keluarga-keluarga kita memancar kasih dan kebaikan Allah. Amin.

Renungan oleh : Rm. Didik, Pr.(komsos.purbowardayan)

WhatsApp
Twitter
Facebook

Post a comment