KOMSOS.PURBOWARDAYAN – Saudara-saudari terkasih, mungkin anda sudah pernah mendengar bahwa menjadi seorang imam membutuhkan waktu yang lama.
Masa pendidikan imam kurang lebih sekitar 10 tahun, bisa lebih cepat tapi juga bisa juga lebih lama.
Mengapa perlu waktu demikian panjang untuk mencetak seorang imam? Pada dasarnya, menjadi seorang imam bukanlah pertama-tama tentang kemampuan intelektual, yang waktunya hanya diisi dengan belajar filsafat teologi, tetapi tentang pendidikan karakter.
Calon imam ditempa di dalam seminari atau rumah formasi agar kelak ia menjadi pemimpin yang melayani dengan rendah hati, tulus, dan bijak.
Setiap hari, para calon imam atau frater diwajibkan untuk memasak, mencuci baju, dan membersihkan seminari.
Setiap frater diberi tanggung jawab secara bergilir untuk mengurus kapel, perpustakaan, kebun, ternak, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Secara berkala, mereka juga melakukan bakti sosial di masyarakat, entah itu di panti asuhan ataupun menjadi karyawan pabrik. Jadwal harian diisi dengan olah raga, olah rasa (bernyanyi dan bermain alat musik), serta olah jiwa (ekaristi, ibadat harian, rosario, meditasi, dan adorasi).
Semua hal di atas memiliki tujuan agar para frater bisa merasakan suka dukanya melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, mulai dari hal terkecil. P
engalaman atau empati hanya bisa tumbuh jika seseorang sudah pernah berada di posisi orang lain. Itulah sebabnya dalam bacaan Injil, Yesus mengatakan pemimpin yang terbesar adalah mereka yang melayani dengan tulus dan rendah hati, bukan yang mencari penghormatan.
Jangan sampai para frater kelak menjadi imam yang hanya bisa menyuruh-nyuruh tapi tidak pernah melakukan apa yang ia suruh.
Sebagai seorang anak yang dibesarkan di keluarga berkecukupan kata-kata Yesus sungguh menggema dalam diri saya.
Di rumah, saya sudah terbiasa dilayani oleh PRT (pembantu rumah tangga). Pakaian ada yang cuci, kamar ada yang bersihkan, dan makanan selalu tersedia untuk disantap.
Segala sesuatu tinggal suruh mba di rumah. Tanpa disadari, hal ini membentuk mentalitas bos, yang hanya tahu menyuruh orang lain tapi tidak bisa melakukan. Barulah ketika masuk seminari tinggi, saya tahu rasanya menjadi seorang pekerja.
Para pekerja adalah manusia biasa sama seperti saya yang memiliki hati, perasaan, dan keterbatasan dalam melaksanakan tugas.
Maka formasi di seminari adalah untuk membentuk pemimpin, bukan bos.
Bos adalah orang yang hanya tahu menyuruh sedangkan pemimpin adalah mereka yang membagi tugas, mendelegasikan pekerjaan, bahkan sampai pada memberi kepercayaan agar orang lain bertumbuh dan potensinya optimal.
Pada bacaan pertama, Kitab Maleakhi mengingatkan bahwa kepemimpinan yang buruk atau sikap nge-bos tidak hanya berdampak buruk pada diri sendiri, tetapi juga pada komunitas karena memberikan contoh yang tidak sehat.
Sebaliknya, dalam bacaan kedua kita melihat contoh kepemimpinan yang baik yang diberikan rasul Paulus dan rekan-rekannya.
Mereka melayani jemaat dengan bekerja keras, memberi kasih sayang, dan hidup dalam kesederhanaan.
Pelayanan mereka bukan hanya kata-kata, tetapi juga tindakan yang menunjukkan cinta dan dedikasi mereka kepada umat Tuhan. Akhirnya pilihan berada di tangan kita masing-masing, untuk mengikuti contoh yang mana.
Semoga Allah memberkati kita, dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, amin.
Rm. Wulfstan Harris Soerianto, SS.CC