KOMSOS.PURBOWARDAYAN – Devosi berasal dari kata Latin devotio yang berarti mencintai, menyerahkan diri, dan menghormati seseorang atau sesuatu. Berdevosi berarti memiliki cinta dan menyerahkan diri dengan sepenuh hati pada seseorang atau sesuatu itu. Secara sederhana, devosi adalah suatu sikap bakti berupa penyerahan seluruh pribadi kepada Allah dan kehendak-Nya sebagai perwujudan cinta kasih secara teratur dan tetap, dengan kata lain kebaktian khusus. Contoh devosi adalah devosi kepada Sakramen Mahakudus, Bunda Maria, Hati Yesus, dan lainnya. Bentuknya seperti rosario, doa Tiga Salam Maria, Koronka Kerahiman Ilahi, Jalan Salib, Litani Hati Kudus Yesus, dan bentuk-bentuk lainnya.
Devosi tidak termasuk dalam liturgi resmi Gereja, tetapi devosi dianjurkan oleh Gereja untuk ditekuni oleh umat beriman. Devosi dapat membantu menghayati iman dan mempersiapkan hati untuk merayakan liturgi. Orang yang devosinya kuat biasanya memiliki penghayatan liturgi yang lebih baik, dan hal itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Devosi dapat membantu untuk pikiran dan hati umat untuk terbiasa dalam suasana doa, suasana hening yang menghantar umat pada kedalaman hati, misalnya bisa membantu umat mengikuti perayaan Ekaristi dengan penuh penghayatan. Dalam melaksanakan devosi, umat diberi kelonggaran oleh Gereja. Praktik devosi tidak terikat waktu, jumlah, tempat, dan lainnya. Bagi Gereja, yang paling penting adalah umat dapat berdoa dengan sungguh-sungguh dan penuh penghayatan.
Adapun tujuan devosi antara lain: mampu menggairahkan iman dan kasih kepada Allah, mampu mengantar umat pada penghayatan iman yang benar akan misteri karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus, mampu mengungkapkan dan meneguhkan iman terhadap salah satu kebenaran misteri iman, dan mampu memperoleh buah-buah rohani. Maka diharapkan setiap umat beriman memiliki kebiasaan untuk melaksanakan devosi. Umat yang sudah memiliki kecintaan akan devosi nantinya bisa merasakan makna dan manfaatnya dalam kehidupan mereka.
Umat memiliki devosi yang kuat itu memang baik dan menjadi anjuran dari Gereja. Akan tetapi, dalam menjalankan devosi ada beberapa hal yang perlu diwaspadai. Yang pertama, devosi tidak pernah dipandang sebagai pengganti liturgi, sebab sudah ada tingkatannya masing-masing. Dari seluruh liturgi resmi gereja, Perayaan Ekaristi merupakan liturgi yang tertinggi, sesudah itu menyusul sakramen-sakramen yang lain. Namun, praktek devosi dapat dihubungkan dengan liturgi resmi, seperti novena dalam Perayaan Ekaristi. Yang kedua, devosi harus dijauhkan dari praktek magis. Hal ini terjadi jika orang memandang kekuatan dan daya pengudusan berasal dari barang tertentu seperti patung, dan lainnya. Memiliki kebiasaan devosi itu baik, tetapi perlu untuk tetap memperhatikan aturan yang ada, jangan sampai terlalu dalam penghayatan akan devosi membuat umat jadi menyalahi liturgi Gereja yang ada.
Katekese oleh: Fr. Paulus Sih Nugroho, Pr (Komsos.Purbowardayan)