KOMSOS.PURBOWARDAYAN – Selain ajaran Iman akan Kristus, Gereja Katolik secara tak langsung juga mengajarkan soal budaya lokal.
Ya, pemahaman tersebut diiyakan oleh beberapa pihak, satu di antaranya ialah seorang seniman lulusan ISI Surakarta, Seruni Widawati.
Musik gamelan Jawa yang kerap digunakan untuk mengiri perayaan Ekaristi atau misa secara tak langsung mengajak umat Gereja Katolik untuk belajar dan mengenal budaya Jawa.
Terkhusus, menurutnya, bagi para orang muda hingga yang senior yang mengiringi perayaan Ekaristi menggunakan bahasa Jawa.
“Dengan belajar menabuh gamelan, seperti halnya rangsangan musik yg memberikan stimulan untuk anak2 muda agar tertarik dengan budaya Jawa,” ucap wanita yang kerap disapa Watik itu saat dihubungi via WhatsApp.
Hal hampir serupa diungkap oleh Koordinator Gamelan Paroki St. Perawan Maria Regina, Purbowardayan, Surakarta yakni Ryan Sampurna.
Menurutnya, Gamelan bukan hanya cara untuk melestarikan budaya Jawa.
Melainkan Gamelan adalah satu di antara budaya Jawa yang kini mulai digandrungi peminat.
Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa gamelan kini mulai ditinggalkan oleh beberapa pihak seiring dengan zaman yang kian modern.
Hal tersebut turut dirasakan oleh Ryan maupun Watik.
Ryan merasa prihatin karena banyak kaum muda yang notabene masa depan Gereja dan negara jarang diminati.
Tak hanya Gamelan, beberapa budaya Jawa lainnya juga mulai ditinggalkan oleh kaum muda, seperti karya seni hingga tata krama.
“Dulu saya sempat prihatin tentang lunturnya Kebudayaan Jawa dikaum muda karena banyak kita jumpai dikalangan kaum muda yang sudah jarang berbicara menggunakan bahasa krama alus,” ucap kaum muda yang turut menjadi Ketua OMK Wilayah Nusukan itu.
Watik, dalam pengamatannya menilai bahwa anak muda mulai tak mengenal budaya Jawa sejak kurun 2010 silam.
Lunturnya budaya Jawa karena masuknya informasi atau budaya asing yang lebih menarik, sementara budaya Jawa yang sulit dipahami.
” Terutama soal kesenian Jawa karena banyaknya arus informasi dr luar yg kelihatan lebih menarik. Mereka menganggap kalau kesenian budaya Jawa itu sulit dipahami,” lanjut wanita lulusan S2 ISI Surakarta itu.
Kendati begitu, kini, mulai muncul beberapa pihak yang mulai melestarikan budaya Jawa, seperti Watik maupun Ryan yang ikut ambil bagian di Tim Pelayanan Gamelan Purbowardayan.
Keduanya acap kali kompak membimbing dan mengajarkan musik gamelan kepada kaum muda, tak terkecuali remaja.
Baik Ryan maupun Watik tetap menemui hambatan dalam membimbing mereka yang usianya lebih muda.
Hambatan itu satu di antaranya soal teknis, yakni mengajarkan cara menabuh gamelan yang baik.
“Permasalahannya bukan terletak pada usia. Tapi bagaimana mengajari dan membiasakan mereka dengan teknik menabuh gamelan yg benar,” jelas Watik.
Watik berharap, kaum muda tak meninggalkan budaya Jawa, terkhusus musik Gemelan meski banyaknya budaya asing yang masuk.
“Ada pepatah “martabat suatu bangsa tergantung dari budayanya” Jangan sampai budaya Jawa yg luhur menjadi hilang karena gempuran budaya dari luar yg belum tentu sesuai dengan budaya kita,” tandas Watik.
Sementara itu, Ryan berharap agar musik Gamelan semakin banyak diminati oleh banyak orang. (Komsos.Purbowardayan).